Ngomong tentang Indonesia dan dunia

  • 25 April 2017

Permulaan

Turut menyaksikah hadirnya internet di Indonesia di awal masa 1990-an, rasanya seperti menjadi pelaku sejarah. Sebuah jaman, di mana informasi mengalir begitu deras.

Untuk beberapa kalangan, terasa mengejutkan, mengagumkan, dan ada pula yang menganggapnya sebagai ancaman.

Konon, perkembangan teknologi yang begitu masif ini, merubah “wajah” banyak negara. Termasuk mengantarkan Indonesia, memasuki periode reformasi.

Lahirnya Para Pendekar

Peran para perintis teknologi IT Indonesia, sangatlah besar. Terdiri dari para akademisi maupun mahasiswa yang umumnya sedang kuliah di luar negeri.

Sekarang, mereka dikenal sebagai tetua para hacker Indonesia. Yang disegani di dalam negeri, dan dihormati di dunia internasional. Baca di Salah paham tentang hacker

Era sosial media

Forum diskusi, milis, irc beserta berbagai platform chatting dll, saat itu memicu tumbuhnya industri kreatif, startup dan sejenisnya, dari segala bidang ilmu komputer.

Lalu muncul Friendster, inilah sosial media yang sangat fenomenal di indonesia. Bersamaan dengan perangkat telpon genggam yang bisa mengakses internet, ikut mendorong Bangsa Indonesia, melek internet.

Disusul dengan Twitter, Facebook dll. Internet menjadi tempat silaturahmi yang indah untuk Bangsa Indonesia.

Sahabat, saudara, keluarga dan teman, jauh maupun dekat, tiba-tiba dengan mudahnya terhubung.

Seakan belum cukup, muncul lagi Blackberry Messenger alias BBM. Lalu WA, Instagram, Line, Telegram, dll.

Sisi gelap

Sedang enak-enaknya menikmati jaman informasi yang indah dan penuh persaudaraan. Entah kapan bermula, tiba-tiba setiap orang menemukan sosial media mereka:

  • Penuh dengan curhatan alay nan galau.
  • Gosip tentang skandal murahan dan bisik-bisik tetangga.
  • Teori konspirasi yang menggelikan.
  • Caci maki, ujaran kebencian.
  • Hoax.
  • Menjadi media berbagi aib.
  • Informasi “sampah”.

Red Alert

Sisi gelap internet ini, seolah belum cukup. Seiring dengan gegap gempita politik dan pemilu, hadir banyak kelompok, yang kerap disebut sebagai “Cyber Army”.

Pada beberapa kasus, mereka hanyalah sekumpulan orang, yang diberi fasilitas internet. Diberi gaji secukupnya, untuk tugas yang sederhana.

Yaitu membesar-besarkan segala kejelekan pihak lawan, dan memuji setinggi langit pihak yang membayar.

Pada kasus lain, mereka adalah orang-orang yang benar-benar profesional. “Diam-diam” dibentuk oleh “kekuatan besar”.

Misalnya oleh perusahaan-perusahaan swasta, untuk melindungi usahanya. Sambil menyerang produk lawan.

Bahkan di berbagai belahan dunia, diyakini bahwa mereka juga dibentuk oleh lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga intelejen.

Mereka ini menjadi tulang punggung propaganda, Psy War, Psy Op dan sejenisnya. Atau sekarang lebih dikenal dengan perang proxy, Proxy War.

Sebagai penggemar ilmu sosial, saya merasa bahwa kita harus secepatnya membunyikan “alarm tanda bahaya”.

Korban berjatuhan

Jika anda melihat hal ini bukan sesuatu yang serius, anda harus menyimak tentang :

Arab Spring

Ada yang menyebut Arab spring sebagai kebangkitan dunia Arab. Dari satu sudut pandang, pernyataan itu benar. Dari sudut pandang lain, juga bisa disebut kehancuran dunia Arab.

Tentu kita sangat menghormati perjuangan rakyat Arab, yang ingin merubah negaranya menjadi lebih baik. Terutama di negara-negara yang “dianggap” dikuasai oleh para diktator.

Kita ikut gembira, menyaksikan negara-negara yang agak lancar dan mulus, mampu “memperbaiki” negaranya. Dengan sedikit korban jiwa.

Sayangnya kini, sekitar 6 atau 7 tahun sesudah Arab Spring, kita masih menyaksikan banyak kerusuhan dan perang saudara yang merenggut banyak korban jiwa di Jazirah Arab. Yang paling banyak disorot adalah Suriah, Libya dan Yaman. Total korban jiwa di seluruh Jazirah Arab mencapai hampir 40.000 jiwa, dan ditengarai akan terus bertambah.

Menganalisa Arab Spring

Ada setidaknya dua analisa tentang Arab Spring:

  • Keinginan rakyat untuk memperbaiki negara.
  • Proxy War.

Saya berharap para pakar ilmu sosial Indonesia bisa melakukan analisa yang lebih detil dan mendalam tentang Arab Spring.

Untuk sementara, inilah analisa saya:

Selain keinginginan yang tulus dari rakyat. Menurut pendapat saya, Arab Spring juga “berbau” proxy war. Alasannya yang paling kuat adalah, karena Jazirah Arab masih menjadi sumber utama energi dunia, terutama bahan bakar minyak dan gas.

Ciri-cirinya sebagai berikut:

  • Pemanfaatan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Skype dll. Untuk berkomunikasi, mobilisasi massa dan propaganda.
  • Menyebarkan berita yang benar, disertai dengan berita yang tidak benar.
  • Meyakinkan khalayak, bawah penguasa adalah thoghut yang layak digulingkan.
  • Bahwa tindakan konstitusional tidak diperlukan, hanya satu jalan yaitu revolusi.
  • Atas nama perjuangan, taqiya dan hoax dipuji bahkan dianjurkan.
  • Jika ada yang menganjurkan tabayyun, akan dibully habis-habisan. Dikatakan bahwa keadaan sudah sangat genting, tabayyun hanya buang-buang waktu.
  • Setiap ujaran kebencian, disertai seruan untuk menyebarkan. Padahal jika diselidiki dengan seksama, tidak ada solusi apapun dari ujaran kebencian itu, selain menyebar kebencian, kemarahahan, keresahan dan ketakutan.

Tentu tidak bisa digeneralisasikan, bahwa semua pihak melakukan hal-hal yang diuraikan di atas. Tapi bahwa, entah siapa di sosial media, menyebarkan hal itu tentu tidak dapat dipungkiri keberadaannya.

Pertanyaaannya:

  • Benarkah seluruh penguasa di Jazirah Arab thogut ?
  • Benarkah mereka semua layak digulingkan ?
  • Benarkah kekerasan fisik hanya satu-satunya solusi ?
  • Benarkah musyawarah, tabayyun dan tindakan konstitusional sudah basi ?
  • Benarkah atas nama perjuangan, taqiya dan hoax dibenarkan ?

Pertanyaaan lainnya:

  • Benarkah dengan menggulingkan pemerintah yang sah, keadaan bisa lebih baik ?
  • Dari seluruh negara di Jazirah Arab yang terdampak Arab Spring, berapa negara yang sekarang sudah lebih baik, berapa yang tetap, dan berapa yang SEMAKIN MEMBURUK ?

Kita bisa berdebat panjang lebar atas pertanyaan di atas dan jawabannya.

Sambil berdebat, kita bisa melihat kenyataan. Bahwa Arab Spring, yang bermula pada tahun 2010-2011, saat ini masih jauh dari kata selesai.

Apalagi jika berharap akhir yang indah, sepertinya masih jauh.

Bicara Indonesia

Kita patut bersyukur, walaupun sosial media di Indonesia semakin carut marut, ternyata TIDAK mengakibatkan peristiwa seperti Arab Spring.

Namun siapa yang bisa MENJAMIN, bahwa itu TIDAK AKAN TERJADI ?

Antara cinta dan kebencian

Mendadak politisi

Ketika Arab Spring bermula, 2010-2011. Pada awalnya saya takjub, melihat dinding sosial media saya dipenuhi kabar dan ulasan-ulasan politik. Terutama dari akun-akun yang berteman.

Tak disangka, saya menemukan teman-teman saya, ternyata pakar politik, pakar ilmu sosial, pakar hubungan internasional.

Kamipun terlibat dalam diskusi yang hangat dan menyenangkan.

Tapi itu tidak berlangsung lama. Segera saya temukan opini-opini, yang salah secara logika. Lemah dalam penalaran, bahkan sesat pikir.

Upaya untuk mendiskusikan hal itu, malah berakhir buruk. Block akun dan unfriend menjadi kelaziman.

Saya pikir itu sudah yang paling buruk, ternyata tidak. Ada yang lebih buruk lagi. Dinding saya dipenuhi info sampah, hoax dan ujaran kebencian.

Dari situ, saya memutuskan untuk istirahat sejenak dari sosial media. Di sisi lain, sebagai pekerja proyek musiman, saya tiba-tiba menganggur 6 bulan. Miskin kuota internet dan nggak lama kemudian menikah. Hal itu cukup membantu saya untuk “mensucikan” pikiran.

Buzzer dan Cyber Army

Setelah memiliki cukup waktu, mengamati “laboratorium sosial media” dari luar. Saya menemukan bahwa teman-teman saya bisa mendadak pakar, mendadak politisi, ternyata bukan suatu kebetulan. Itu tidak terlepas dari hadirnya para buzzer dan cyber army. Sebuah profesi yang nampaknya sekarang cukup menjanjikan.

Tidak sedikit dari mereka, ternyata menyebarkan sesat pikir dengan sengaja. Disusul dengan kehebohan pilkada, pilpres dan pileg. Fenomena ini semakin menjadi-jadi.

Dan tak mengherankan, para buzzer ini segera mendapatkan ribuan like dan follow. Baik dari pihak kawan maupun lawan.

Ternyata inilah sumbernya. Inilah salah satu pokok permasalahannya.

Dengan mudah mereka menyusun tulisan yang mengaduk-aduk emosi dasar manusia. Seperti kecemasan, ketakutan, keresahan, kemarahan dan kebencian. Mereka paling pandai menyajikan simbol-simbol, yang nampaknya masuk akal bahkan ilmiah.

Padahal jika diteliti lebih jauh, alih-alih menemukan informasi dan solusi, kita hanya di bawa untuk tenggelam dalam kebencian, terhadap tokoh yang “diserang”.

Tidak ketinggalan, selalu disertakan kata-kata sakti : SEBARKAN !

Pertanyaan:

  • Apa pendapat anda tentang Buzzer dan Cyber Army ?
  • Perlukah kehadiran Buzzer dan Cyber Army untuk Indonesia yang lebih baik ?
  • Menurut anda, apakah Buzzer dan Cyber Army bisa menyebabkan peristiwa seperti Arab Spring ?

Pertanyaan lain:

  • Baik atau burukkah pembunuhan karakter dengan fitnah dan kampanye hitam ?
  • Baik atau burukkah ad hominem ? ( menyerang pribadinya, bukan pendapatnya ).
  • Baik atau burukkah menyebarkan informasi tanpa tabayyun ?

Internet, untuk Indonesia yang lebih baik.

Para pendekar IT, hacker yang terhormat dan sesepuh IT Indonesia, sejak awal memahami sisi gelap internet.

Sejak awal pula, mereka berjuang, agar teknologi internet, baik dan berguna untuk Indonesia.

Di antaranya ada yang turut membidani lahirnya internet sehat.

Gagasan awalnya diungkapkan 10 Maret 2002, klik di sini

Pertanyaan:

  • Tahukah anda tentang “internet sehat” ?
  • Perlukah kita mempraktekkan perilaku berinternet yang sehat ?
  • Menurut anda, pada umumnya, sudah sehatkah perilaku Bangsa Indonesia dalam berinternet ?
  • Perlukah perilaku berinternet sehat disebar luaskan ?
Bhinneka Tunggal Ika

Bicara politik

Ketika tiba-tiba semua orang bicara politik, bicara ilmu sosial, bicara tentang hubungan internasional, sebenarnya itu baik.

Menjadi tidak baik, jika dibicarakan dengan dasar pemikiran yang keliru. Didukung dengan hoax dan penggiringan opini, cepat atau lambat, akan menghancurkan Indonesia.

Tapi tulisan ini sudah cukup panjang. Mari kita diskusikan lebih gamblang dan rinci pada tulisan berikutnya.

Terima Kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.

Misteri Freeport, Indonesia dalam bahaya